Sejarah

Bapak R. Soenarto Mertowardojo lahir pada tanggal 21 April 1899 di Desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, sebagai putra keenam dari delapan bersaudara dari ayahnya yang bernama R. Soemowardojo. Pekerjaan R. Soemowardojo adalah mantri penjual.

Sebagai mantri penjual dengan pendapatan yang pas-pasan, sangatlah berat bagi R. Soemowardojo membesarkan 8 anak. Akan tetapi beliau ingin semua anaknya mendapat pendidikan yang baik. Oleh karena itu, ketika Soenarto berumur 7 tahun saatnya ia bersekolah, dititipkanlah Soenarto di saudara ayah atau ibunya yang tinggal di kota untuk bersekolah, karena di desa Simo saat itu belum ada sekolah.

Sejak itulah Bapak Soenarto kecil harus berpisah dengan orang tua dengan dititipkan (ngenger) demi menuntut ilmu. Semua itu dijalankannya dengan didasari rasa patuh pada perintah orang tua. Perjalanan hidup di masa ngenger selama 15 tahun dengan berpindah-pindah tempat sebenarnya berat bagi seorang anak. Akan tetapi, kehidupan itu diterimanya dengan tulus dan sabar, ia tidak pernah mengeluh pada orang tuanya layaknya seorang anak. Ia tidak pernah merasa harus mengorbankan masa kanak-kanaknya dan harga dirinya. Dalam masa pengengeran itulah, rasa rindu kepada Tuhan mulai tumbuh. Ia ingin bertemu Tuhan, memohon keadilan-Nya.

Ketika Bapak Soenarto beranjak dewasa, keinginan mencari Tuhan semakin besar. Keadaan masa itu tidak memungkinkan ia menggali ilmu agama secara formal. Pengetahuan agamanya hanya didapat dari surau ketika kecil di Desa Simo, dan shalat dhaim yang diajarkan ibunya.

Untuk mengetahui tentang Tuhan atau kesejatian hidup menyebabkan Bapak Soenarto berguru pada orang yang semestinya tidak dijadikan guru, karena menuntunnya berjalan di jalan sesat dengan cara klenak-klenik (rahasia). Akhirnya beliau sadar dan memutuskan untuk tidak lagi mencari guru klenik dan sadar bahwa belum waktunya mendapat ilmu sejati.

Bapak Soenarto berjanji tidak akan berguru lagi, selain sudah kehilangan uang, masih harus menjalani berbagai macam perbuatan yang tidak masuk akal.

Akhirnya, Bapak Soenarto berkesimpulan: “Menurut perkiraanku, laku yang benar itu hanyalah memohon sih pepadang Allah, yang nyata Mahamurah, Mahaasih, dan Mahaadil. Aku yakin akan diberi pepadang, asal aku mohon dengan sungguh-sungguh. Apakah ilmu sejati itu menjelaskan tentang kesudahan hidup, yaitu hidup setelah mati? Apa makna surga dan neraka? Lalu, jika sungguh-sungguh ada, di manakah tempatnya?”

Setelah Bapak Soenarto berkesimpulan bahwa untuk mendapat jawaban tentang apa yang disebut ilmu sejati dan makna surga dan neraka hanya dengan memohon kepada Allah saja, Bapak Soenarto pun melaksanakan shalat dhaim pemberian ibundanya. Kejadian itu terjadi pada tanggal 14 Februari 1932 pukul 17.30 di tempat tinggalnya Kampung Widuran, Solo.

Dalam shalatnya Bapak Soenarto masuk dalam keadaan khusyuk (hening) dan apa yang menjadi pertanyaan selama itu terjawab dari dalam hati sanubari berupa sabda sebagai berikut.

“Ketahuilah, yang dinamakan Ilmu Sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan benar, jalan yang sampai pada asal dan tujuan hidup.”

Pada waktu Bapak Soenarto menerima sabda yang pertama, di dalam hati bagaikan mengalir air dingin meresap di relung hati, badan terasa dingin, hati terasa terang benderang seperti diliputi cahaya bulan purnama. Beliau tertegun dan berkata dalam hati, 

“Siapakah gerangan yang bersabda tadi?”

Tidak ada satu menit sabda dalam hati sanubari berlanjut sebagai berikut.

“Aku Suksma Sejati, yang menghidupi semesta alam, bertakhta di segala sifat hidup. Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Panutan, Penuntun, Gurumu yang Sejati ialah Guru Dunia. Aku datang untuk melimpahkan sih anugerah Tuhan kepadamu berwujud pepadang dan tuntunan, terimalah dengan menengadah ke atas, menengadah yang berarti menunduk, bersujud di hadapan-Ku.

 Ketahuilah siswa-Ku!
Bahwa sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan semesta alam, tempat sembahan yang sejati ialah Sumber Hidup yang akan Kembali kepada-Nya.

Sejatinya Hidup itu satu, yang abadi keadaannya, meliputi semua alam seisinya.

Jawaban itu menjadi pencerahan (pepadang) bagi Bapak Soenarto dan menimbulkan rasa tenang, tenteram, dan bahagia yang belum pernah dialaminya. Namun, kejadian yang tiba-tiba itu membuat rasa bahagia berganti rasa haru lalu menangis dengan memanjatkan sembah syukur ke hadirat Tuhan, bahwa beliau merasa belum suci dan merasa penuh dosa, dianugerahi pepadang. Kemudian beliau mohon disucikan dari kekotoran dunia dan dilebur segala dosanya juga diberi kekuatan menerima sih anugerah serta keadilan Tuhan.

Setelah itu beliau masuk dalam keadaan hening kembali dan menerima lanjutan sabda yang menjelaskan bahwa:

  1. Yang memegang ukuran kesucian adalah Suksma Sejati/Utusan Tuhan Abadi.
  2. Jangan berkecil hati, sakit hati, waswas dan cemas jika ada yang tidak percaya.
  3. Suksma Sejati melindungi dan menuntun hamba yang berjalan di Jalan Rahayu.
  4. Memerintahkan Bapak Soenarto menyebarluaskan pepadang Suksma Sejati yang diterima kepada siapa saja yang memerlukan dengan tanpa paksaan dan tanpa pamrih dan dilaksanakan dengan keikhlasan, kesabaran dan pengorbanan.
  5. Memberitahukan bahwa akan ada 2 orang yang membantu beliau dalam menyebarluaskan pepadang, yaitu Bapak Hardjoprakoso dan Bapak Soemodihardjo.

Setelah sabda Suksma Sejati/Sang Guru Sejati tanggal 14 Februari 1932 diterima Bapak Soenarto, Pada tanggal 27 Mei 1932 sore hari Bapak Soenarto, Bapak Hardjoprakoso, dan Bapak Soemodihardjo bertemu. Selanjutnya, setiap malam Bapak Hardjoprakoso dan Bapak Soemodihardjo sebagai saksi dan mencatat ajaran Sang Guru Sejati yang diterima Bapak Soenarto. 

Kemudian catatan ajaran tersebut dicetak menjadi 7 buku kandutan, yaitu: Hasta Sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Sangkan Paran dan Panembah.

Buku-buku tersebut disebarkan oleh mereka bertiga di lingkungan masing-masing. Bagi yang tertarik dan ingin mempelajarinya, mereka berkumpul dengan ketiga Bapak di tempat kediaman Bapak Hardjoprakoso atau lainnya. Semakin hari bertambah yang turut mempelajari ajaran Sang Guru Sejati.

1949-1965

Panguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) berdiri pada tanggal 20 Mei 1949 di kota Solo, agar para siswa Sang Guru Sejati menjadi akrab, oleh karena 17 tahun sebelumnya (1932) belum ada wadah untuk para siswa Sang Guru Sejati yang bersama-sama Bapak R. Soenarto Mertowardojo mendalami dan melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati, yang diterima Bapak Soenarto pada tanggal 14 Februari 1932 – Januari 1933.

Pada tanggal 20 Mei 1949 terjadi pertemuan 7 orang Bapak untuk berolahrasa membahas ajaran Sang Guru Sejati. Saat itu Sang Guru Sejati berkenan bersabda kepada para siswa-Nya, bahwa para siswa-Nya supaya akrab hendaknya diikat dalam satu perkumpulan. Kemudian terbentuklah kepengurusan sementara perkumpulan dan terpilih Bapak Goenawan sebagai Ketua. Kemudian pada bulan Juli 1949 dalam rapat pengurus sementara, diadakan pemilihan kembali, dan terpilih Bapak R. Soetrasman sebagai Ketua Perkumpulan dan Bapak Goenawan sebagai Panitera (Sekretaris). Dalam rapat itu mereka juga berembug mengenai nama perkumpulan. Akhirnya, Bapak Soenarto memberi nama Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Pada bulan Desember 1949 Bapak R. Soetrasman dipindah tugas ke Surabaya, sehingga jabatan Ketua Pangestu kosong dan sementara dijabat oleh Bapak R. Trihardono Soemodihardjo sampai tahun 1950. Kemudian ditunjuk kembali Bapak Goenawan sebagai Ketua Pengurus Pusat Kehormatan sampai dengan Desember 1954.

Pada usia lima tahun Pangestu, yaitu pada tahun 1954 telah berdiri 4 cabang di luar kota Solo, dan pertama kali Pangestu mengadakan Kongres I. Dalam Kongres Pangestu para Pengurus Cabang Pangestu mendengarkan pengarahan, prasaran langsung dari Bapak Soenarto yang saat itu sudah mendapat sebutan "Pakde Narto" (saudara tua/orang tua) dari para anggota Pangestu.

Beliau adalah penasihat (paranpara) pertama dan utama dalam Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) sampai dengan tahun 1965, saat Pakde Narto masih ada, Pangestu telah menyelenggarakan empat kali Kongres. Kongres I/1954 ditunjuk oleh Pakde Narto, Bapak Martosoedigdo sebagai Ketua Pengurus Pusat Pangestu untuk masa bakti 1954-1959. Kemudian pada Kongres II/1959 ditunjuk oleh Pakde Narto, Bapak Dr. Soemantri Hardjoprakoso sebagai Ketua Pengurus Pusat Pangestu masa bakti 1959-1970.

Kongres terakhir yang dihadiri oleh Pakde Narto sebelum wafat pada 16 Agustus 1965 yaitu Kongres IV pada tahun 1964 yang diikuti oleh wakil dari 96 Pengurus Cabang Pangestu.

1965-1970

Setelah Pakde Narto wafat, Kongres Pangestu dipimpin oleh Ketua Pengurus Pusat Pangestu, yaitu Bapak Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso.

Dalam periode kepengurusan Bapak Soemantri, yang wafat pada 11 Desember 1971 Pangestu menyelenggarakankan dua kali kongres, yaitu tahun 1967 dan tahun 1970. Pada Kongres tahun 1970 adalah Kongres Pangestu VI, Saat itu Cabang Pangestu telah berjumlah 111 cabang.

1970-2005

Dalam Kongres Pangestu VI/1970 terpilih Bapak Dr. Soedjarwo sebagai Ketua Pengurus Pusat Pangestu. Beliau terpilih kembali dalam Kongres VI sampai dengan Kongres XIV untuk menjadi Ketua Pengurus Pusat Pangestu. Bapak Soedjarwo wafat pada tanggal 12 Januari 2004 sebelum Kongres XV, sehingga tahun 2004-2005 sampai dengan Kongres 2015 Bapak Harsadi Darsokoesoemo SH ditunjuk sebagai Pejabat Sementara Ketua Pengurus Pusat Pangestu. Dalam Kongres XV, yang dihadiri wakil-wakil dari 196 Pengurus Cabang Pangestu, terpilih Bapak Dr. Budi Darmadi menjadi Ketua Pengurus Pusat Pangestu.

2005-2020

Pada periode kepengurusan Pangestu 2005 – 2020 telah diselenggarakan tiga kali kongres, yaitu pada tahun 2010, 2015, dan 2020 dan pada kongres-kongres itu terpilih kembali Bapak Budi Darmadi menjadi Ketua Pengurus Pusat Pangestu.

Pada tahun 2020 ketika seluruh dunia dilanda pandemi covid-19 dan sesuai peraturan pemerintah dalam mencegah penularan virus covid-19, maka Kongres Pangestu XVIII/2020 diselenggarakan secara online (dalam jaringan atau daring) diikuti para Pengurus Pusat dan wakil Pengurus Cabang dari 184 Cabang. Dalam pemilihan Ketua Pengurus Pusat Pangestu untuk masa bakti 2020 – 2025 terpilih kembali Bapak Budi Darmadi yang masih dipercaya anggota Pangestu untuk mengesuhi para anggota Pangestu.

 

Bangunan museum didirikan pada tahun 1925, yang sebelumnya merupakan bekas rumah tinggal Bapak Soeratman dan keluarga. Museum Pangestu berokasi di Jl. Rajawali III/3a – Manahan Surakarta, Jawa Tengah dengan luas tanah 1083 m2

Jumlah koleksi museum : 114 buah
Koleksi terdiri dari barang barang yang dihibahkan oleh keluarga perintis pangestu yang telah berjuang menyebarluaskan ajaran Sang Guru Sejati.

Museum Pangestu didirkan dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Untuk menyimpan, merawat dan memperpanjang usia koleksi yang bernilai sejarah dari para perintis pangestu sejak berdiri tahun 1949 .
  2. Untuk menambah pengetahuan pengunjung tentang apa dan siapa pangestu dan para perintisnya.
  3. Sebagai tempat mendapatkan informasi mengenai ajaran sang guru sejati yang diterima Bapak R. Soenarto Mertowardojo pada tahun 1932. Ajaran sang guru sejati adalah sarana untuk mengolah hati dan cipta bagi mereka yang ingin bertemu dengan penuntun sejatinya, di pusat hati sanubarinya.